A. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
Menurut Sanjaya, (2007:126). Dalam dunia
pendidikan, strategi diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang
rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapi tujuan pendidikan tertentu.
sedangkan menurut Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah
suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien, dan menurut Dick and
Caret (1985) mengartikan strategi pembelajaran adalah suatu set materi dan
prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan
hasil belajar pada siswa.
Strategi
Pembelajaran Afektif memang berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif dan
keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh
sebab itu menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam diri siswa. Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya
bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetai juga bertujuan
untuk mencapai dimensi lainya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan
dengan volume yang sulit di ukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang
tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang
diakibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Dalam
batasan tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan
tetapi penilaiannya untuk sampai kepada kesimpulan yang bisa dipertanggungj
awapkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini
tidaklah mudah untuk dilakukan. Apabila menilai perubahan sikap sebagai akibat
dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah kita tidak bisa
menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan bahasa atau
sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang
dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan guru dalam keluarga
dan lingkungan sekitar.
Strategi
pembelajaran afektif pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang
mengandung konflik atau situasi yang problematis, dan pengajar dapat membina
dalam menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan tingkat nilai kemampuan
masing-masing.
B. Hakikat Pendidikan
Nilai dan Sikap
Agar lulusan pendidikan memiliki integritas pribadi di bidang
keilmuannya secara optimal, disamping menguasai substansi bidang keilmuan pada
sisi kognitif dan psikomotorik, diperlukan pula penguasaan pada aspek-aspek
afektif. Studi tentang pembelajaran untuk aspek-aspek afektif dapat memberikan
kontribusi yang berarti, sekalipun studi ini belum cukup menjamin terbentuknya
integritas pribadi yang ideal. Studi tentang pembelajaran aspek-aspek afektif
tidak bersifat teknis melainkan refleksif, yaitu suatu refleksi tentang nilai-nilai dan atau
tema-tema yang berkaitan dengan perilaku manusia terutama pada pengembangan aspek perasaan, sikap,
nilai dan emosi.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersenbunyi, tidak
berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah
dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain
sebagainya. Pandangan seseorang tentang senua itu tidak bisa diraba, kita hanya
mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itulah
nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria
seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak,
adil dan tidak adil, dsb. Sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku
sesorang. Dengan demikian pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses
penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan, oleh karenanya siswa
dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Sementara itu Douglas Graham (Gulo, 2002) melihat empat faktor yang
merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu yaitu :
a. Normativist, biasanya kepatuhan pada norma-norma dan hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa
kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu :
1) Kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri.
2) Kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri.
3) Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan kepada kesadaran dengan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar
basa-basi.
d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individual, tentu
saja yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist, karena
kepatuhan semacam itu adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai,
tanpa memperdulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat faktor ini
terdapat lima tipe kepatuhan, yaitu :
a. Otoritarian, yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang
ikut-ikutan.
b. Conformist, kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu :
1) Conformist Directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang
lain.
2) Conformist Hedonist, yakni kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi”.
3) Conformist Integral, adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri
sendiri dan masyarakat.
c. Compulsive Deviant, yaiut kepatuhan yang tidak konsisten.
d. Hedonik Psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan
kepentingan orang lain.
e. Supramoralist, yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap
nilai-nilai moral.
Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai
bagi anak merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era global
ini, anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin
dianggapnya baik. Penukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa
ini akan mungkin terjadi secara terbuka. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh
suatu kelompok masyarakat bukan tak mungkin akan menjadi luntur digantikan oleh
nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya masyarakat.
Komitmen seseorang terhadap
suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap yakni kecendrungan
seseorang terhadap suatu objek misalnya: jika seseorang berhadapan dengan suatu
objek, ia akan menunjukkan gejala senang atau tidak senang, suka atau tidak
suka terhadap objek tersebut. Gulo (2005) menyimpulkan, tentang nilai
sebagai berikut:
§ Nilai tidak bisa diajarkan tapi diketahui dari penampilannya
§ Pengembangan dominan afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek
kognitif
§ Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berkembang
sehingga bisa dibina
§ Perkembangan nilai atau moral
Sikap merupakan
suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dalam mengambil tindakan
(action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau
tersedia beberapa alternatif (winkel 2004). Pernyataan senang atau tidak
senangnya seseorang terhadap objek yang dihadapinya, akan sangat dipengaruhi
oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif) terhadap objek tersebut. Oleh karena
itu tingkat penalaran (kognitif) terhadap suatu objek dan kemampuan untuk
bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap
objek yang bersangkutan.
C.
Proses Pembentukan Sikap
1. Pola Pembiasaan
Menurut penelitian
Watson seorang psikolog cara belajar sikap yang disebabkan dengan kebiasaan
dapat menjadi dasar penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek. Dalam proses
pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan misalnya,
siswa yang setiap kali menerima perlakuan yang tidak mengenakan dari guru
seperti mengejek atau menyinggung perasaan anak, maka lama-kelamaan akan timbul
perasaan kesal dari anak tersebut yang pada akhirya dia tidak menyukai guru dan
mata pelajarannya.
Belajar membentuk sikap
melalui pembiasaan juga dilakukan oleh Skinner melalu teorinya “operant
conditioning” proses pembentukan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson
berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Skinner
menekankan pada proses peneguhan respons anak, dimana setiap kali anak
menunjukan prestasi yang baik diberikan penguatan dengan cara memberikan hadiah
atau prilaku yang menyenangkan.Dari Watson dan Skinner, menurut kelompok kami
dapat diambil kesimpulan bahwa proses pembentukan sikap dengan pola pembiasaan
bukan hanya melalui proses pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus
melainkan juga memberikan penguatan sehingga anak akan berusaha dan bersemangat
untuk meningkatkan sikap positifnya.
2. Modeling
Pembelajaran sikap
seseorang yang dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap
melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Proses modeling ini adalah
proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang
dihormatinya yang dimulai rasa kagum. Salah satu karakteristik anak didik yang
sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang
ditiru itu adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh
orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan
modeling.
Proses penanaman sikap
anak terhadap suatu objek melalui proses modeling pada mulanya dilakukan secara
mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan.
Misalnya, guru perlu menjelaskan mengapa kita harus berpakaian bersih atau
mengapa kita harus telaten menjaga dan memelihara tanaman.
D. Model Strategi Pembelajaran Sikap
Setiap startegi pembelajaran
sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau
situasi yang problematic. Melalui situasi ini diharapkan siswa dapat mengambil
keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya baik, dibawah ini disajikan
beberapa model strategi pembelajaran pembentukan sikap:
a. Model konsiderasi
Model konsiderasi (the
condiration model) dikembangkan oleh Mc.Paul, seorang humanis, paul
menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang
rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian
bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada
strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian.
Tujuannya adalah agar siswa
menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Kebutuhan yang
fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain,
saling memberi dan menerima dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang. Dengan
demikian pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat
mengembangkan kemampuan agar bisa hidup bersama secara harmonis, peduli dan
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain (tepo salero).
Atas dasar asumsi diatas guru
harus menjadi model didalam kelas dalam memperlakukan setiap siswa dengan rasa
hormat, menjauhi sikap otoriter. Guru perlu menciptakan kebersamaan, saling
membantu, saling menghargai dan lain sebagainya.
Simplementasi model konsideransi
guru dapat mengikuti tahapan pelajaran seperti dibawah ini:
a) Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi “seandainya siswa
mengalami masalah tersebut”.
b) Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah melihat bukan hanya yang
tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan,
kebutuhan dan kepentingan orang lain.
c) Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang
dihadapi
d) Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat kategori
dari setiap respon yang diberikan siswa
e) Mendorong siswa merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan
yang diusulkan siswa.
f) Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang
(interdisipliner) untuk menambah wawasan agar mereka dapat mengimbang sikap
tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g) Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan
sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.
b. Model pengembangan kognitif
Model pengembangan kognitif (the cognitive
development model) dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak
diilhami oleh pemikiran jhon dewey dan jean piaget yang berpendapat bahwa
perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang
berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg,
moral manusia itu berkembang melalui tiga tingkat, dan setiap tingkat terdiri
dari dua tahap:
1) Tingkat prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral
berdasarkan kepentingan sendiri artinya pertimbangan moral berdasarkan pada
pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang
dibuat oleh masyarakat, pada tingkat para konvensional ini terdiri atas dua
tahap:
a. Orientasi Hukum dan Kepatuhan.
Pada
tahap ini prilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi,
artinya anak hanya berpikir bahwa prilaku yang benar itu adalah prilaku byang
tidak akan mengakibatkan hukuman. Dengan demikian setiap peraturan harus
dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negative.
b. Orientasi Instrument – Relatif
Pada
tahap ini prilaku anak didasarkan kepada rasa “adil” berdasarkan aturan
permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas prilaku
yang dianggap baik. Dengan demikian prilaku itu didasarkan kepada saling
menolong dan saling memberi.
2) Tingkat Konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan
pada hubungan individu masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa
prilaku itu sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku dimasyarakat,
dengan demikian pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau
tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai dua tahap:
a. Keselarasan Interpersonal
Pada
tahap ini ditandai dengan setiap prilaku yang ditampilkan individu yang
didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain. Kesadaran individu
mulai tumbuh bahwa ada orang lain diluar dirinya untuk berprilaku sesuai dengan
harapan. Artinya anak sadar bahwa ada hubungan antara dirinya dengan orang
lain. Dan hubungan itu tidak boleh rusak.
b. Sistem Social dan Kata Hati
Pada
tahap ini prilaku individu bukan berdasarkan pada dorongan untuk memenuhi
harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapi berdasarkan pada tuntutan dan
harapan masyarakat, ini berarti telah terjadi pergeseran dari kesadaran
individu kepada keadaran social yang mengatur prilaku individu.
3) Tingkat postkonvensional
Pada
tingkat ini rilaku individu berdasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma
masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai
dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu, seperti pada tingkatan
sebelumnya, pada tingkat ini terdiri juga atas dua tahap:
a. Kontrak Social
Pada
tahap ini prilaku individu berdasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui
dimasyarakat. Kesadaran individu untuk berprilaku tumbuh karena kesadaran untuk
menerapkan prinsip-prinsip social. Dengan demikian kewajiban moral dipandang
sebagai kontrak social yang harus dipatuhi bukan sekedar pemenuhan system
nilai.
b. Prinsip Etis yang Universal
Pada
tahap terakhir, prilaku manusia didasrkan pada prinsip-prinsip universal.
Segala macam tindakan bukan hanya didasarkansegala kontrak social yang harus
dipatuhi, akan tetapi didasarkan kepad suatu kewajiban sebagai manusia. Setiap
individu wajib menolong orang lain. Apaka orang itu sebagai orang yang kita
benci ataupun tidak, apakah orang itu kita cintai atau tidak,, orang yang kita
suka atau tidak, pertolongan yang diberikan bukan didasarkan pada kesadaran
yang bersifat universal.
Sesuai dengan prinsip bahwa moral terjadi secara bertahap, maka strategi
pembelajaran model kohleberg diarahkan untuk membantu agar setiap individu
meningkat dalam perkembangan moralnya.
c. Teknik Mengklarifikasi Nilai
Teknik
mengklasifikasi nilai (value clarivication technique) atau sering
disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa
dalam mencari dan menentukan status nilai yang dianggap baik dalam menghadapi
suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam
dalam diri siswa.
Kelemahan
yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah poses
pembelajaran yang dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan
nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan nilai yang sudah tertanam
dalam diri siswa, akibatnya sering terjadi benturan dan konflik dalam diri siwa
karena ketidak cocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru
yang ditanamkan oleh guru.
Siswa
sering sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai lama yang sudah
terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Salah satu karakteristik
VCT sebagai suatu model dalam pembelajaran siap adalah proses penamaan nilai
yang dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada. Sebelumnya dalam
diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru hendak ditanamkan.
VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran moral VCT
bertujuan:
1) Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa terhadap nilai.
2) Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya, baik
tingkatan maupun sifatnya (positif atau negatif) untuk kemudian dibina kearah
peningkatan dan pembetulannya.
3) Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang
rasional diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut menjadi milik
siswa.
4) Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima serta mengambil keputusan
terhadap suatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari
dimasyarakat.
John jarolimex (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam
tujuh tahap yang dibagi kedalam tiga tingkatan, setiap tingkatan dijelaskan
dalam tahap ini.:
a) Kebebasan memilih
Pada tingkatan ini terdapat tiga tahap:
1. Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang
menurutnya baik, nilai yang dipaksakan tidak menjadi miliknya secara penuh.
2. Memilih dari beberapa alternative, artinya untuk menentukan pemilihan dari
beberapa alternative pilihan secara bebas.
3. Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan
timbul sebagai akibat pilihannya.
b) Menghargai
Terdiri dari dua tahap pembelajaran:
1. Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya,
sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian integral dari dirinya.
2. Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya didepan
umum, artinya bila kita menganggap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan
berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkan didepan orang lain.
c) Berbuat
Terdiri atas:
1.
Kemauan dan kemampuan untuk mencoba
melaksanakannya.
2.
Mengulangi prilaku sesuai dengan nilai
pilihannya, artinya nilai yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam
kehidupan sehari-hari.
VCT menekankan bagaimana sebenarnya seorang membangun nilai yang menurut
anggapannya baik, pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai prilakunya
dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat. Dalam praktis pembelajaran, VCT
dikembangkan melalui proses dialog antara guru dan siswa, proses tersebut
hendaknya berlangsung dalam suasana langsung dan terbuka, sehingga setiap siswa
dapat mengungkapkan secara bebas perasaannya, beberapa yang harus diperhatikan
guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog:
a. Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasehat, yaitu pemberian
pesan-pesan moral yang menuntut guru dianggap baik
b. Jangan memaksa siswa untuk memberi respon tertentu apabila memang siswa
menghendakinya
c. Usahakan dialog dilakukan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan
mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya
d. Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas
e. Hindari respon yang dapat menyebabkan siswa terpojok sehingga ia menjadi
despensif
f. Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu
g.
Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam
E.
Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
Disamping aspek
pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan peserta didik dan
pembentukan keterampilan untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik
memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap peserta didik merupakan
aspek yang tidak kalah pentingnya. Dalam proses pendidikan disekolah proses
pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan. Hal ini disebabkanoleh proses
pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.
Pertama, Proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang
berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Sehingga
keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran ditentukan oleh kriteria
kemampuan kognitif. Akibatnya upaya guru diarahkan kepada bagaimana agar anak
dapat mengetahui sejumlah pengetahuan sesuai dengan standard kurikulum. Hal ini
dapat dilihat dari berbagai macam bentuk evaluasi yang dilakukan baik evaluasi
tingkat sekolah, tingkat wilayah maupun tingkat nasional diarahkan kepada
kemampuan anak dalam menguasai materi pelajaran. contohnya pendidikan agama dan
pendidikan kewarganegaraan yang seharusnya diarahkan kepada tingkat pembentukan
moral dan sikap, tapi karena keberhasilannya diukur dari kemampuan intelektual
maka evaluasi pun lebih banyak mengukur kemampuan penguasaan materi pelajaran
dalam bentuk kognitif.
Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyak faktor yang
dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap
baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh
faktor guru tetapi juga faktor lain, terutama faktor lingkungan.
Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak dapat dievaluasi
dengan segera. Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan
yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir. Sementara
keberhasilan pembentukan sikap dapat dilihat dengan rentan waktu yang cukup
panjang karena sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan
proses yang lama.
Keempat, pengaruh kemajuan tekhnologi, khususnya kemajuan
tekhnologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak
pada pembentukan karakter anak. Tidak bisa kita pungkiri, program televisi ,
misalnya yang banyak menanyangkan program acara produksi luar yang memiliki
latarbelakang budaya yang berbeda. Maka secara perlahan tapi pasti budaya asing
yang belum tentu cocok dengan budaya lokal merembes dalam setiap relung
kehidupan, menggeser nilai-nilai lokal sebagai nilai luhur yang mestinya
ditumbuhkembangkan, sehingga pada akhirnya membentuk norma baru yang mungkin
tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku.
F.
Cara mengatasi Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
Dalam mengatasi kesulitan-kesulitan pembelajaran afektif diatas terdapat
beberapa cara yang dapat diterapkan agar kesulitan-kesulitan tyersebut dapat
diminimalisir dan bahkan diatasi dengan baik. Cara-cara mengatasinya adalah :
Pertama, Pendidikan yang ada selama ini sesuai dengan kurikulum yang
digunakan untuk mengukur kemampuan intelektual anak dari pada kemampuan
afektif, akan tetapi kemampuan dalam bersikap pun tidak kalah penting harus
dimiliki anak, untuk apa memiliki generasi muda yang pintar akan tetapi
perilakunya tidak mencerminkan orang yang memiliki intektual. Pendidikan agama
dan kewarganegaraan sampai saat ini merupakan pendidikan yang wajib diberikan
pada anak didik, karena dengan pendidikan agama dan moral dapat mengontrol
perilaku anak agar tidak cepat terjerumus pada perilaku yang buruk tetapi
sangat popular, akibat kemajuan zaman dan teknologi. Kesadaran yang harus
dimiliki diri anak yang sangat baik ditanamkan sejak dini adalah sesuatu sikap
yang sangat tepat dalam memfilter perilaku anak, anak akan memahami cara
berperilaku saat anak mampu membedakan mana sikap yang baik dan mana sikap yang
buruk bagi dirinya.
Kedua, Peran dari guru dan orang tua serta lingkungan sangat menentukan
perilaku yang akan dikeluarkan atau dicontoh oleh siswa. Guru mampu memberikan
pembelajaran yang intelektual dan juga memiliki nilai sikap yang baik, contohya
saat guru mengajarkan bagaimananya caranya bersikap pada pengemis, pemulung,
orang tua, dan lain sebagainya. Guru pun dapat memberikan praktek melalui
contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan masyarakat orang tua yang
harus menjadi contoh bagi anaknya, tanamkan ilmu agama dan moral dari anak
berusia dini, serta berikan perhatian dan penjelasan yang ringan mengenai
akhlaq manusia yang baik, dan kemukakan beberapa contoh suri tauladan seperti
akhlaq Nabi Muhammad SAW. Orang tua juga memberikan contoh praktek bersikap
yang baik didepan anak-anaknya, agar anak bangga dan mencontohnya.
Ketiga, Pembentukan sikap bukan untuk dinilai akan tetapi diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, apabila pembentukan sikap yang dilakukan guru dan orang
tua serta lingkungan berpengaruh baik pada anak maka kehidupan anak akan
terjamin aman dan jauh dari kekacauan. Sebaliknya bila pembentukan sikap kurang
optimal pada anak maka perilaku anak akan mudah tergantikan dengan perilaku
yang datang silih berganti, membuat perilaku anak sulit terkontrol dan
berakibat buruk bagi anak tersebut.
Keempat, Pengaruh kemajuan teknologi dapat diatasi dengan pengawasan yang
baik dari orang tua dan guru, berikan pengertian bahayanya kemajuan teknologi
dengan menggunakan bahasa yang komunikatif tanpa gaya yang memaksa ataupun nada
kasar. Kedekatan orang tua dan anak sangat banyak membantu dalam mengotrol
sikap anak dalam menerima kemajuan teknologi yang ada, berikan anak kebebasan
yang bertanggung jawab, berikan kepercayaan terhadap anak bahwa anak mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya sendiri.
Sumber :
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standard Proses Pendidikan. Jakarta: Kharisma putra utama.
Tugas ini disusun untuk memenuhi :
Mata Kuliah : Pembelajaran PKN di SD
Dosen : Dirgantara Wicaksono, M.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar