1.
Pengertian Aliran Sesat
Kata sesat dapat diartikan sebagai
keyakinan yang dianut seseorang yang menjadi keyakinan publik, atau menjadi
keyakinan para pengikutnya, sehingga orang yang diikuti keyakinannya yang sesat
disebut menyesatkan. Sedangkan pengertian “sesat menyesatkan” (dallun mudillun)
adalah paham atau pemikiran yang di anut dan diamalkan oleh sebuah kelompok
yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam.
Aliran sesat dapat didefinisikan
sebagai suatu kepercayaan yang menyimpang dari mainstream masyarakat, namun
batasan ini menjadi rancu karena kriteria kesesatan bersifat multikriteria.
Oleh karena itu silang pendapat apakah suatu aliran sesat atau tidak merupakan
masalah tersendiri yang tidak mudah. Aliran hanya dapat dinyatakan sebagai
sesat apabila mengacu pada satu kumpulan kriteria yang dinyatakan secara
apriori sebagai “tidak sesat”. Oleh karena itu ukuran sosiologis, politis dan
psikologis hanya merupakan penjelas saja tentang kemungkinan-kemungkinan
mengapa seseorang atau kelompok menjadi bagian dari aliran sesat.
2.
Kriteria Aliran Sesat
Ciri-ciri dari kesesatan atau aliran sesat yang
berkembang di Indonesia, dikemukakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
mengeluarkan maklumat tentang 10 ciri aliran sesat, yaitu :
a) Mengingkari rukun iman (Iman kepada
Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir, Qadha dan Qadar) dan
mengingkari rukun Islam (Mengucapkan 2 kalimat syahadah, sholat wajib 5 waktu,
puasa, zakat, dan Haji).
b) Meyakini dan atau mengikuti akidah yang
tidak sesuai dalil syar’i (Al-Quran dan As-Sunah).
c) Meyakini turunnya wahyu setelah Al
Qur’an.
d) Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran
isi Al Qur’an.
e) Melakukan penafsiran Al Quran yang tidak
berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
f) Meingkari kedudukan hadits Nabi SAW
sebagai sumber ajaran Islam.
g) Menghina, melecehkan dan atau merendahkan
para nabi dan rasul.
h) Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai
Nabi dan Rosul terakhir.
i)
Merubah,
menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh
syari’ah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardlu tidak 5 waktu.
j)
Mengkafirkan
sesama muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan seorang muslim hanya
kelompoknya. Kesepuluh maklumat yang dikeluarkan oleh MUI bukan tanpa dasar,
bahkan dilandasi oleh banyak dalil dari Al Qur’an dan Al Hadist serta
bersesuaian dengan prinsip-prinsip Ahlussunah Wal Jama’ah.
3.
Pandangan Muhammadiyah
Terhadap Aliran Sesat
A.
Sumber Ajaran islam
Muhammadiyah, sebagai gerakan
keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu
berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk
pada ajaran Islam yang bersumber dari dua sumber primer ajaran ini. Yakni
Alquran dan Assunnah Almaqbulah. Hal
ini bisa kita lihat di dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah BAB II Pasal 4 ayat 1.
Hanya saja istilah Assunnah Almaqbulah
baru digunakan setelah diresmikan istilahnya pada Keputusan
Musyawarah Nasional Majlis Tarjih XXV tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam di Jakarta tahun 2000, dan sebelumnya digunakan istilah Assunnah Ashshahihah.
Untuk mencapai maksud dan tujuannya
yaitu mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, maka Muhammadiyah
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid yang diwujudkan dalam
usaha di segala bidang kehidupan. Dalam pengembangan bidang keagamaan dan
dakwah ditangani oleh dua majlis yaitu Majlis Tarjih dan Tajdid (MTT) dan
Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MT-DK).
B.
Pemahaman
Ajaran Islam
Hal-hal yang berkaitan dengan paham
agama dalam Muhammadiyah secara garis besar dan pokok-pokoknya ialah sebagai
berikut:
1.) Agama, yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan Allah dalam Alquran dan yang disebut
dalam Sunnah maqbulah, berupa
perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan
manusia di dunia dan akhirat (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang
al-Din).
2.) Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama
Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim,
Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai hidayah dan
rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan
hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi.
3.) Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran
Islam yang meliputi bidang-bidang:
a. ‘Aqidah: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah
Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat,
tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam;
b. Akhlaq: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai
akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul,
tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia;
c. Ibadah: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ‘ibadah
yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. tanpa tambahan dan perubahan dari
manusia;
4.) Mu’amalah dunyawiyat; Muhammadiyah bekerja untuk
terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat)
dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang
ini sebagai ‘ibadah kepada Allah S.W.T.
5.) Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata
karena Allah, agama semua Nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama
yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan
dan hubungan manusia dengan sesama, dan agama yang menjadi rahmat bagi semesta
alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna.
6.) Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam
adalah Alquran dan Sunnah. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang
telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang
tak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada
terdapat nash sharih dalam Alquran dan Sunnah maqbulah, maka
dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada
melalui persamaan ‘illat, sebagaimana telah dilakukan oleh ‘ulama salaf dan
Khalaf (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang Qiyas).
7.) Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua
pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi).
Hal yang penting yang perlu
menjadikan pamahamaman bersama bahwa paham islam dalam muhammadiyah bersifat
komprensif dan luas, sehingga tidak sempit dan parsial. Agama dalam pandangan
atau paham muhammadiyah tidak lah sepotong-potong, serpihan-serpihan dan hanya
hukum atau fikih belaka. Paham agama yang di tanamkan bukan ajarannya yang
terbatas, tetapi luas dan multiaspek karen amuhammadiyah merupakan gerakan
islam, maka paham tentang islam merupakan kewajiban atau keniscayaan yang fundamental,
yang yang intinya pada memperdalam sekaligus memperluas paham islam bagi
seluruh warga muhammadiyah. Kemudian menyebarkan/mensosialisasikan dan
mengamalkan dalam kehidupan umat serta masyarakat sehingga islam yang
didakwahkan Muhammadiyah membawa/menjadi rahmatan lil-‘alamin. Muhammadiyah bergerak dalam berbagai bidang
kehidupan manusia yang antara lain dapat diklasisfikasikan sebagai berikut:
1.
Bidang
Aqidah
Aqidah Islam menurut Muhamadiyah dirumuskan sebagai
konsekuensi logis dari gerakannya. Formulasi aqidah yang dirumuskan dengan
merujuk langsung kepada sumber utama ajaran Islam itu disebut ‘aqidah shahihah, yang menolak
segala bentuk campur tangan pemikiran teologis. Karakteristik aqidah
Muhammadiyah itu secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, nash sebagai dasar rujukan. diyakini sepenuhnya bahwa hanya
dengan berpedoman pada kedua sumber utama itulah ajaran Islam dapat hidup dan
berkembang secara dinamis. Muhammadiyah juga menjadikan hal ini sebagai tema
sentral gerakannya, lebih-lebih dalam masalah ‘aqidah, seperti
dinyatakan: “Inilah pokok-pokok ‘aqidah yang benar itu, yang terdapat dalam
Alquran dan dikuatkan dengan pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir.”
Jelaslah bahwa sumber aqidah
Muhammadiyah adalah alquran dan Sunnah yang dikuatkan dengan berita-berita yang
mutawatir. Ketentuan ini
juga dijelaskan lagi dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai berikut: “
Di dalam masalah aqidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir,
Dalil-dalil umum Alquran dapat ditakhsis dengan hadits ahad, kecuali dalam
bidang aqidah, dalam memahami nash, makna zhahir didahulukan daripada ta’wil
dalam bidang aqidah dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.”
Ketentuan-ketentuan tersebut
menggambarkan bahwa secara tegas aqidah Muhammadiyah bersumber dari Alquran dan
Sunnah tanpa interpretasi filosofis seperti yang terdapat dalam aliran-aliran
teologi pada umumnya. Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap pemikiran
filosofis ini, maka dalam menghadapi ayat-ayat yang berkonotasi mengundang
perdebatan teologis dalam pemaknaannya, Muhammadiyah bersikap tawaqquf seperti
halnya kaum salaf.
Kedua, keterbatasan
peranan akal dalam soal aqidah Muhammadiyah termasuk kelompok yang memandang
kenisbian akal dalam masalah aqidah. Sehingga formulasi posisi akal sebagai
berikut : “Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak
tercapai pengertian oleh akal dalam hal kepercayaan, sebab akal manusia tidak
mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungan-Nya dengan
sifat-sifat yang ada pada-Nya.
Ketiga, kecondongan
berpandangan ganda terhadap perbuatan manusia. Pertama, segala perbuatan telah
ditentukan oleh Allah dan manusia hanya dapat berikhtiar. Kedua, jika ditinjau
dari sisi manusia perbuatan manusia merupakan hasil usaha sendiri. Sedangkan
bila ditinjau dari sisi Tuhan, perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
Keempat, percaya
kepada qadha’ dan qadar. Dalam Muhammdiyah qadha’ dan qadar diyakini sebagai salah
satu pokok aqidah yang terakhir dari formulasi rukun imannya, dengan mengikuti
formulasi yang diberikan oleh hadis mengenai pengertian Islam, Iman dan Ihsan.
Kelima, menetapkan
sifat-sifat Allah. Seperti halnya pada aspek-aspek aqidah lainnya, pandangan
Muhammadiyah mengenai sifat-sifat Allah tidak dijelaskan secara mendetail.
Keterampilan yang mendekati kebenaran Muhammadiyah tetap cenderung kepada
aqidah salaf.
2.
Bidang Hukum
Muhammadiyah melarang anggotanya bersikap taqlid, yaitu sikap mengikuti
pemikiran ulama tanpa mempertimbangkan argumentasi yang logis. Dan sikap keberagaman
yang dibenarkan oleh Muhammadiyah adalah ittiba’,
yaitu mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan
argumentasi serta mengikutinya dengan pertimbangan logika. Di samping itu,
Muhammadiyah mengembangkan ijtihad sebagai karakteristik utama organisasi ini.
Adapun pokok-pokok utama pikiran Muhammadiyah dalam bidang hukum yang
dikembangkan oleh Majlis Tarjih antara lain:
1. Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illah terhadap hal-hal yang
terdapat di dalam nash, dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbdi dan memang merupakan
hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
2. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi
pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
3. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan
bahwa hanya Majlis Tarjih yang paling benar. Koreksi dari siapa pun akan
diterima sepanjang diberikan dalil-dalil yang lebih kuat.
Dengan demikian, Majlis Tarjih
dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan yaitu :
1. Ibadah ada dua macam, yaitu ibadah khusus, yaitu apa
yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan
cara-caranya yang tertentu, dan ibadah umum, yaitu segala perbuatan yang
dibolehkan oleh Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya.
2. Dalam bidang ibadah yang diperoleh
ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan
akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui
bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal
memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan.
3.
Bidang
Akhlak
Mengingat pentingnya akhlaq dalam
kaitannya dengan keimanan seseorang, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
juga dengan tegas menempatkan akhlaq sebagai salah satu sendi dasar sikap keberagamaannya.
Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat
yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang
dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai
dan perilaku baik dan burruk seperti sabar, syukur, tawakal, birrul walidaini,
syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul
Mahmudah). Dan sombong, takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan
sebagainya (Al-Akhlaqul Madzmuham).
Untuk menghidupkan akhlaq yang islami, maka Muhammadiyah berusaha
memperbaiki dasar-dasar ajaran yang sudah lama menjadi keyakinan umat Islam,
yaitu dengan menyampaikan ajaran yang benar-benar berdasar pada ajaran Alquran
dan Sunnah Maqbulah, membersihkan
jiwa dari kesyirikan, sehingga kepatuhan dan ketundukan hanya semata-mata
kepada Allah. Usaha tersebut ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat bodoh
dan inferoritas berangsur-angsur habis kemudian membina ukhuwah antar sesame
muslim yang disemangati oleh Surat Ali Imron ayat 103.
Adapun sifat-sifat akhlak Islam
dapat digambarkan sebagai berikut:
1.
Akhlaq
Rabbani : Sumber akhlaq Islam itu wahyu Allah yang termasuk dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlaq Islamlah
moral yang tidak bersifat kondisional dan situasional, tetapi akhlaq yang memiliki
nilai-nilai yang mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari nilai
moralitas dalam hidup manusia (Q.S.) Al-An’am / 6 : 153).
2.
Akhlak
Manusiawi. Akhlaq dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa manusia
yang merindukan kebaikan, dan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq
dalam Islam. Akhlaq Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai
makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.
3.
Akhlak
Universal. Sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala aspek
kehidupan manusia baik yang berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S.
Al-An’nam : 151-152).
4.
Akhlak
Keseimbangan. Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di dunia
maupun di akhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi
secara seimbang, begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap
masyarakat, seimbang pula. (H.R. Buhkori).
5.
Akhlaq
Realistik. Akhlaq Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia walaupun manusia
dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk
lain, namun manusia memiliki kelemahan-kelemahan itu yaitu sangat mungkin
melakukan kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan
untuk bertaubat. Bahkan dalam keadaan terpaksa. Islam membolehkan manusia
melakukan yang dalam keadaan biasa tidak dibenarkan. (Q.S. Al- Baqarah / 27 :
173).
4.
Bidang
Mu’amalah Dunyawiyah
Mua’malah adalah aspek
kemasyarakatan yang mengatur pergaulan hidup manusia diatas bumi ini, baik
tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar
negara dan lain sebagainya.Di dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih disebutkan “Dalam
hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi,
menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”
Adapun prinsip-prinsip mu’amalah
dunyawiyah yang terpenting antara lain:
1. Menganut prinsip mubah.
2. Harus dilakukan dengan saling rela artinya tidak ada
yang dipaksa.
3. Harus saling menguntungkan. Artinya mu’amalah dilakukan
untuk menarik manfaat dan menolak kemudharatan.
4. Harus sesuai dengan prinsip keadilan.
C.
Isme-isme modern
1.
Faham Sekulerisme
Menurut Ensiklopedi Britania
misalnya,
menyebutkan bahwa “sekularisme” adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang
bertujuan memalingkan dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi
kepada dunia. Gerakan ini dilancarkan karena pada abad-abad pertengahan, orang
sengat cenderung kepada Allah dan hari akhirat dan menjauhi dunia. Sekularisme
tampil untuk menghadapinya dan untuk mengusung kecendrungan manusia yang pada abad
kebangkitan, orang menampakkan ketergantungan yang besar terhadap aktualisasi
kebudayaan dan kemanusiaan dan kemungkinan terealisasinya ambisi mereka
terhadap dunia.
Sedangkan menurut Kamus Dunia
Baru oleh Wipster
merinci makna Sekularisme adalah Semangat Keduniaan atau orientasi “duniawi”
dan sejenisnya. Secara khusus adalah undang-undang dari sekumpulan prinsip dan
praktek (practices) yang menolak setiap bentuk keimanan dan ibadah. Keyakinan
bahwa agama dan urusan-urusan gereja tidak ada hubungannya sama sekali dengan
soal-soal pemerintahan, terutama soal pendidikan umum.
Jadi dari berbagai macam pendapat diatas dapat disimpulkan
bahwa Sekularisme ialah memisahkan agama dari kehidupan individu atau sosial
dalam artian agama tidak boleh ikut berperan dalam pendidikan, kebudayaan
maupun dalam hukum. Dengan kata lain sekularisme ialah memisahkan Allah Ta’ala
dari hukum dan undang-undang mahluk-Nya. Allah tidak boleh ikut mengatur mereka
seakan-akan tuhan mereka adalah diri mereka sendiri, berbuat sesukanya dan
membuat hukum sesuai seleranya.
2.
Faham Pluralisme Agama
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi
adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan
ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim
keberanan’ yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal,
perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama.
Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru
sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling
benar.
Di Barat, pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh
ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme
Barat postmodern. Sejak awal, postmodernisme ini menjadikan fundamentalisme
sebagai musuh utamanya.
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai
makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda,
dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
a. Sebagai
pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber
satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam
agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan
nilai-nilai yang benar.
b. Sebagai
penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki
klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali
menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
c. Kadang-kadang
juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk
mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik
antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama.
d. Dan
sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk
ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang
berbeda-beda.
Dalam
The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language diungkap
bahwa pluralisme dipahami dalam dua makna, pertama, adanya pengakuan
terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Artinya,
toleransi yang dimaksud adalah di mana masing-masing agama, ras, suku dan
kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan
kepercayaan orang lain. Kedua, pluralisme berupa doktrin, yakni: a).
pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) dalam masalah kebenaran,
tidak ada jalan untuk mengatakan hanya ada satu kebenaran tunggal tentang suatu
masalah, c) berisi ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua
pendapat itu sama benarnya, d) teori yang sejalan dengan relativisme dan sikap
curiga terhadap kebenaran (truth), e) dan terakhir, pandangan bahwa di
sana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya (no
view is true, or that all view are equally true). (Lihat juga dalam
Oxford Advanced Lear ners’ Dictionary of Current English dan Oxford Dictionary
of Philosophy).
Dari
sisi definisi saja dapat diketahui bahwa pluralisme itu sendiri sudah
mengandung pandangan relativitas dalam kebenaran, atau setidaknya, curiga
terhadap kebenaran. Pluralisme ini tidak berpegang pada suatu dasar apa pun.
Tidak boleh ada kebenaran tunggal. Bahkan dalam satu pengertian, pluralisme
mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.
3.
Pluralisme
Menurut Islam
Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ
خَبِير ٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari
laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah” (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan
keragaman suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam
(pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui kebenaran agama-agama tersebut
(pluralisme). Allah SWT juga berfirman:
وَيَعْبُدُونَ
مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ
عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
“Mereka menyembah selain Allah tanpa
keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak memiliki ilmu dan tidaklah
orang-orang zalim itu mempunyai pembela”(QS al-Hajj:67-71).
Ayat ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu
sesungguhnya menyembah kepada selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa dinyatakan,
bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah
sama-sama benarnya dan menyembah kepada Tuhan yang sama?
Dalam ayat yang lain, Allah SWT menegaskan:
إِنَّ
الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
“Sesungguhnya
agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam”(QS Ali Imran [3]: 19).
Allah SWT pun menolak siapa saja yang memeluk agama selain
Islam (QS Ali Imran [3]: 85); menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam,
baik Yahudi dan Nasrani, ataupun agama-agama lainnya (QS at-Taubah [9]: 30,
31); serta memandang mereka sebagai orang-orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72).
Karena itu, yang perlu dilakukan umat Islam sesungguhnya
bukan menyerukan pluralisme agama apalagi dialog antaragama untuk mencari titik
temu dan kesamaan. Masalahnya, mana mungkin Islam yang mengajarkan tauhid
disamakan dengan Kristen yang mengakui Yesus sebagai anak Tuhan ataupun
disamakan dengan agama Yahudi yang mengklaim Uzair juga sebagai anak Tuhan?!
Apalagi Islam disamaratakan dengan agama-agama lain? Benar, bahwa eksistensi
agama-agama tersebut diakui, tetapi tidak berarti dianggap benar. Artinya,
mereka dibiarkan hidup dan pemeluknya bebas beribadah, makan, berpakaian, dan
menikah dengan tatacara agama mereka. Tetapi, tidak berarti diakui benar.
Karena itu, yang wajib dilakukan umat Islam tidak lain adalah terus-menerus
menyeru para pemeluk agama lain untuk memeluk Islam dan hidup di bawah naungan
Islam. Meski dengan catatan tetap tidak boleh ada pemaksaan. Lahirnya gagasan
mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah faktor. Dua
di antaranya adalah:
a. Pertama, adanya keyakinan masing-masing
pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang
menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa
merekalah umat pilihan. Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang
sering memicu terjadinya kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antarpemeluk
agama. Karena itu, menurut mereka, diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama
tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi memicu konflik.
b. Kedua, faktor kepentingan ideologis dari
Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi,
hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah
sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika
Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.
Faham ini sangat berbahaya khususnya bagi umat islam bahaya
pertama adalah penghapusan identitas-identitas agama. Dalam kasus Islam,
misalnya, Barat berupaya mempreteli identitas Islam. Ambil contoh, jihad yang
secara syar’i bermakna perang melawan orang-orang kafir yang menjadi
penghalang dakwah dikebiri sebatas upaya bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab
(jilbab) oleh Muslimah dalam kehidupan umum dihalangi demi “menjaga wilayah
publik yang sekular dari campur tangan agama.” Lebih jauh, penegakan syariah
Islam dalam negara pun pada akhirnya terus dicegah karena dianggap bisa
mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya
sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Bahaya lain pluralisme agama adalah munculnya agama-agama
baru yang diramu dari berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat
di Tanah Air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah
pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah
beberapa contohnya. Lalu dengan alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme
agama menolak pelarangan terhadap berbagai aliran tersebut, meski itu berarti
penodaan terhadap Islam.
Sebaiknya para tokoh nasional hendaknya berhati-hati dalam
menggunakan istilah pluralisme. Apalagi mengajak orang lain untuk
menjalankannya. Di atas segalanya, mereka harus lebih mengedepankan isu ”iman”,
bukan lainnya. Dalam masalah pluralisme ini misalnya, jangan hanya karena
"dipaksakan", lalu istilah itu begitu saja dipakai. Sebab, setiap
istilah itu tidaklah 'tergeletak' begitu saja. Ia mengandung nilai-nilai, konsep
dan ideologi bangsa yang melahirkannya. Jika datang dari Barat misalnya, maka
ia mewakili nilai-nilai mereka (Barat). Demikian juga dengan istilah
pluralisme.
4.
Liberalisme dan Jaringan Islam
Liberal ( JIL)
Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan
individu dalam segala bidang. Menurut paham ini titik pusat dalam hidup ini
adalah individu. Karena ada individu maka masyarakat dapat tersusun dan karena
individu pula negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat atau negara
harus selalu menghormati dan melindungi kebebasan kemerdekaan individu. Setiap
individu harus memiliki kebebasan kemerdekaan, seperti dalam bidang politik,
ekonomi, dan agama misalnya dalam bidang Agama Liberalisme menganggap masalah
agama merupakan masalahpribadi, masalah individu. Tiap-tiap individu harus
memiliki kebebasan kemerdekaan beragama dan menolak campur tangan
negara/pemerintah. Dengan demikian, dalam bidang agama, golongan liberal
menghendaki kebebasan memilih agama yang disukainya dan bebas menjalankan ibadah
menurut agama yang dianutnya.
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat
yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham
liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
1. Jaringan Islam Liberal
Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas
Islam dengan landasan sebagai berikut:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional
atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus
bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas
atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan
demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad
bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial),
ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna
literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan
Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan
menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran
yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan
semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi
bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan
plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang
kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab
sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkumpul oleh konteks
tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah,
selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan
lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan
ruang yang terus berubah-ubah.
d. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak
beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam
Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat
atau kepercayaan.
D. Aliran-aliran sesat
Supaya lebih faham
terhadap kedudukan Muhammadiyah dalam hubungannya
dengan berbagai aliran dan faham agama yang terdapat dalam dunia Islam. Di kalangan umat Islam, ada dua golongan yang timbul
akibat pemahaman yang berbeda bidang pembahasannya yaitu:
1.
Faham
yang timbul dari sumber pemahaman yang berhubungan dengan masalah aqidah. Perbedaan faham yang ditimbulkan dari sumber yang berhubungan dengan aqidah Islamiyah terkenal
dengan istilah FIRQOH. Seperti: Syiah, Khawarij, Oodariyah,
Jabariyah, Mu'tazilah, Ahlus-Sunnah wal Jama'ah.
2.
Faham
yang timbul dari sumber pemahaman yang berhubungan dengan masalah furu'iyah atau 'ubudiyah. Perbedaan faham
yaiig ditimbulkan dari
sumber yang berhubungan dengan masalah fu.ru'iyah terkenal dengan istilah: MADZHAB. Seperti: Madzhab
Hanafi, Madzhab Hambali,
Madzhab Maiiki, Madzhab Syafe'i, Madzhab Dlahiri dan
lain sebagainya.
4.
Upaya-Upaya Muhammadiyah Dalam Penanganan Kasus
Aliran Sesat
Kemunculan aliran-aliran sesat lebih
banyak disebabkan faktor cultural religius, bukan masalah ekonomi. Karena itu,
aliran-aliran sesat bisa muncul di pedesaan dan juga di wilayah perkotaan,
orang-orang terpelajar maupun yang kurang terdidik. Karena akar kemunculan
aliran sesat itu bersifat kultural-religius, ormas Islam memiliki peran yang
sangat strategis dalam rangka menanggulangi lahirnya aliran-aliran sesat
tersebut. Ada dua langkah yang bisa dilakukan ormas Islam termasuk Muhammadiyah
untuk menanggulangi munculnya aliran sesat. Pertama, mengefektifkan peran dan
fungsinya sebagai gerakan pendidikan dan dakwah. Hampir semua ormas Islam
memiliki kedua kegiatan tersebut. Saluran pendidikan melalui sekolah, madrasah,
dan pesantren.
Para santri dan siswa ditanamkan sejak
dini bagaimana model keberagamaan Islam yang benar sejalan dengan ortodoksi
Islam, sembari dijelaskan tentang perbedaan-perbedaan furu’iyah yang bisa
ditolerir sehingga bisa bersikap moderat terhadap perbedaan pemahaman. Senapas
dengan model pendidikan formal yang dijalankan di lapangan, dakwah seperti
pengajian juga mengembangkan model pemahaman keagamaan moderat sehingga
kelompok-kelompok jamaah pengajian tidak gampang menyesatkan kelompok lain yang
tidak sehaluan dengan pemahaman kelompoknya. Kedua, memperluas basis gerakan
pendidikan dan dakwahnya kepada kelompok-kelompok masyarakat yang sejauh ini
tidak terjangkau oleh kepemimpinan umat atau ormas Islam.
Kehadiran ormas Islam pada umumnya berada
di daerah yang tingkat pemahaman keislaman masyarakatnya sudah memadai. Tokoh-tokoh
Islam muncul dari komunitas seperti ini. Di sisi lain, komunitas muslim yang
tidak terjangkau kepemimpinan semakin jauh dari paham Islam ortodoks sehingga
mereka sangat rentan untuk berpaling kepada aliran-aliran sesat. Untuk
mengatasi masalah ini, ormas Islam bisa mengambil prakarsa mengadakan migrasi
dakwah, mendorong perpindahan beberapa ahli agama dari satu daerah ke daerah
lain yang kering komunitas keislamannya.
Cara lain juga dapat melakukan kegiatan
dialog, diskusi, atau debat publik. Melalui kegiatan semacam ini nantinya
pemimpin dan pengikut aliran sesat akan dihadapkan pada pengujian terhadap
argumentasi pemahaman keagamaan mereka. Jika ajaran dan pemahaman yang selama ini
mereka pahami dan yakini ternyata keliru, maka mau tak mau akan ada proses
penyadaran secara sendirinya.
Dengan digelarkan berbagai dialog, diskusi,
atau debat antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan kasus aliran sesat
ini, maka diharapkan nantinya tidak muncul lagi aksi-aksi kekerasan yang tidak
bertanggung jawab. Setiap kali ada isu bahwa aliran A atau B itu sesat, sudah
sebaiknya isu ini tidak dilempar ke publik terlebih dahulu. Namun, pihak-pihak
yang secara langsung berkepentingan dengan masalah ini, seperti Depag dan MUI,
perlu melakukan dialog, diskusi, atau debat dengan aliran yang dianggap sesat
itu. Hingga pada akhirnya biarlah konsensus publik yang akan menilai apakah aliran
ini-itu sesat atau tidak.
Tentunya,
cara di atas akan terasa efektif karena masyarakat juga akan mendapat
pencerahan bahwa kita perlu bersikap santun dan bijak dalam menghadapi
aliran-aliran yang cenderung dianggap sesat oleh kelompok atau organisasi lain.
Proses dialog adalah bagian dari spirit demokratisasi yang perlu dikembangkan
lebih lanjut dalam kehidupan keberagamaan kita di tanah air. Cara ini bisa
ditempuh dengan menyebarkan dai-dai muda untuk memasuki kehidupan kelompok-kelompok
masyarakat yang belum terjamah oleh kepemimpinan umat tersebut.
Pesantren mampu mentransformasikan
masyarakat dari abangan dan “dunia hitam” menjadi komunitas santri. Penyebaran
gerakan dakwah Muhammadiyah juga dipercepat oleh mobilitas pedagang Minang yang
memiliki jiwa merantau. Para pedagang Minang, di samping menguasai keterampilan
dagang, memiliki pemahaman agama yang memadai sehingga pengembangan usaha
dagang dilakukan bersamaan dengan perluasan dakwah Islamiah. Dengan demikian,
baik NU maupun Muhammadiyah memiliki pengalaman untuk melakukan migrasi dakwah
dan melakukan proses santrinisasi. Sudah tentu,untuk konteks sekarang perlu ada
desain dakwah,bukan sekadar peristiwa insidental seperti peristiwa masa lalu.
Dua langkah tersebut yaitu
mengefektifkan peran ormas Islam sebagai gerakan pendidikan dan dakwah serta perluasan
basis dakwah ke daerah yang keislamannya “tandus”. Hal tersebut perlu menjadi
bahan renungan sebagai usaha memperbaiki strategi dakwah ormas Islam. Dalam
konteks ini, munculnya aliran sesat pada dasarnya menunjukkan bahwa strategi
dakwah ormas Islam belum tepat sasaran, belum mampu menembus penduduk muslim
yang justru sangat memerlukan sentuhan dakwah. Melahirkan fatwa sesat terhadap
suatu aliran keagamaan harus dipandang sebagai usaha kuratif. Yang lebih
penting dari itu adalah memikirkan usaha-usaha preventif sehingga aliran itu
tidak muncul.
sumber :
Drs Marpuji Ali, MSi : Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
Jawa Tengah. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=8975&coid=1&caid=34&gid=2
http://theprincessholiic.blogspot.com/2010/05/menyikapi-kasus-aliran-sesat-agama.html
Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas :
Mata Kuliah : Pembelajaran PKn di SD
Dosen : Dirgantara Wicaksono, M.Pd
Mata Kuliah : Pembelajaran PKn di SD
Dosen : Dirgantara Wicaksono, M.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar